Urgensi Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Berbasis Humanisme-Pluralisme

Urgensi Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Berbasis Humanisme-Pluralisme

Banyak fenomena aksi-aksi kekerasan dan intoleransi oleh sebagian umat Islam atas nama agama seringkali diarahkan pada pada gagalnya proses pendidikan pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Tuduhan ini tampaknya cukup beralasan jika melihat bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah sesungguhnya diharapkan agar mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial sehingga pendidikan agama Islam diharapkan jangan sampai: pertama,  Menumbuhkan semangat fanatisme; kedua,  Menumbuhkan sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; dan Ketiga, Memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Walhasil pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-‘ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.

Selain itu  kedudukan pendidikan Islam dianggap sangat penting bagi setiap kehidupan manusia, tetapi pada kenyataannya baru diposisikan sebatas sebagai pelengkap dari yang lain. Pendidikan agama Islam dianggap cukup jika sudah tercantum dalam kurikulum. Guru agama seringkali juga tidak diposisikan secara strategis. Guru agama tidak jarang menempati posisi-posisi pinggiran, sebatas sebagai pelengkap. Mereka baru dipandang penting dan harus hadir tatkala diselenggarakan acara serimonial untuk pembaca doa. Posisi dan peran seperti ini tentu melahirkan kesan dan citra bahwa pendidikan agama bukanlah penting dan terlalu dibutuhkan. Jika posisi dan peran seperti ini tetap berlanjut, maka cepat atau lambat pendidikan agama akan tetap berada pada posisi pinggir dan suatu saat akan ditinggal orang.

Faktor utama proses pendidikan agar dapat berhasil adsalah pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah salah satunya adalah melalui pengembangan kualitas para guru-guru agama islam melalui kemapuan penyampaian materi pelajaran dengan metode pembelajaran kearah yang lebih variatif, efektif. Seperti halnya proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah saat ini masih sebatas sebagai proses penyampaian “pengetahuan tentang Agama Islam.” Mayoritas metode pembelajaran agama Islam yang selama ini lebih ditekankan pada hafalan, akibatnya siswa kurang memahami kegunaan dan manfaat dari apa yang telah dipelajari dalam materi PAI yang menyebabkan tidak adanya motivasi siswa untuk belajar materi PAI. Melihat kenyataan yang ada di lapangan, sebagian besar teknik dan suasana pengajaran di sekolah-sekolah yang digunakan para guru kita cenderung monoton dan membosankan. Sehingga menurunkan motivasi belajar siswa. Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada prestasi belajar.

Oleh karena itu, PAI harus memperpertegas perannya di Sekolah, terutama mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. Jika tidak, bisa jadi PAI dianggap tidak perlu, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapuskan. Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN). Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Metode Pembelajaran Humanisme-Pluralisme

Secara jujur harus diakui bahwa pendidikan agama Islam pada sekolah-sekolah diIndonesia, dalam pelaksanaannya menunjukkkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan. Pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya. Pada waktu yang bersamaan, Islam diajarkan lebih pada tingkat hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang harus dipraktekkan). Singkat kata, metode pembelajaran agama Islam di negeri kita, khususnya berkaitan dengan aplikasi nilai-nilai Islam pada tataran praksis kurang mendapat penggarapan. Sehingga, tolak ukur keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia juga masih bersifat formalistik dan verbalistik.

Selain itu Metode pembelajarannya bersifat konvensional yang saat ini banyak diterapkan di sekolah lebih menekankan pada pengayaan pengetahuan (kognitif pada tingkat yang rendah) dan pada pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psiko-motorik). Sehingga pendidikan agama Islam yang bertujuan untuk membentuk siswa yang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama Islam serta mampu mengaplikasikan dalam bentuk akhlak mulia belum dapat digapai.  (Salamah: Hasil Penelitian Tesis 2004).

Untuk menjawab kelemahan-kelamahan pendidikan Agama Islam saat, salah satunya dengan mencari metode pembelajaran  alternative inovatif dan kreatif yang berbasis pada nilai-nilai humanisme dan plurasisme.

Model pembelajaran Humanisme ini sebenarnyalah merupakan pendidikan keseluruhan (holistic education), karena di dalam proses pendidikan itu tidak terdapat bagian kesadaran manusia yang terabaikan, tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak ditangani. Dengan memahami karakteristik eksistensi manusia secara keseluruhan maka seorang pendidik akan lebih mudah menggali metode-metode pengajaran yang lebih sesuai dengan psikologi anak didik.

Dalam rangka mencapai sasaran tujuan pembelajaran sistem human education ini Marry Johson (1973) mengajukan agar guru-guru memerankan dirinya  terhadap hal-hal  sebagai berikut : Pertama, Guru harus berusaha untuk memberikan kesempatan kepada murid agar dapat melakukan  eksplorasi dan mengembangkan  kesadaran  atau identitas dirinya serta melibatkan  perkembangan  konsep dirinya, Kedua, Peranan  guru harus  komitmen terhadap prinsip  pendidikan  yang memperhatikan faktor emosi, motivasi, dan minat siswa yang akan dapat  mempercepat  penguasaan  bahan pelajaran dan terintergrasi secara pribadi, Ketiga, Perhatian guru  harus diarahkan  kepada upaya  mengembangkan  isi pelajaran agar sesuai dengan  kebutuhan  minat siswa sendiri, oleh sebab itu siswa hendaknya  diberi  kebebasan  dan tanggung jawab  memilih dan menentukan menganai apa, bagaimana dan kapan mempelajarinya, keempat, arah dan tujuan penampilan guru adalah berusaha untuk memelihara perasaan pribadi siswa  yang efektif, karena siswa  dianggap  akan dapat mengendalikan sendiri dalam  belajarnya serta akan  mempu menggunakan  cara belajar  yang paling efektif dan efesien dan Keliman, guru harus berusaha  agar para siswa  mampu mengadaptasikan  dirinya terhadap  berbagai perubahan, khususnya dengen memberikan  bantuan yang dibutuhkan  siswa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam belajar.

Pembelajaran berdasarkan teori Nilai Kemanusiaan ini cocok diterapkan untuk materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian,hati nurani, perubahan sikap,dan analisis terhadap fenomena sosial—seperti pendidikan agama Islam. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola fikir,prilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani,tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan,norma,disiplin / etika yang berlaku.

Sedangkan pada metode pembalajaran pluralisme menurut Burhanuddin Muhtadi bahwa yang mesti guru lakukan adalah sebagai berikut : Pertama, Metode dialog yang mampu mengajak siswa untuk berpikir kritis sekaligus mampu menyimpulkan sendiri bahwa agama apapun yang diturunkan Tuhan ke bumi justru ditujukan untuk menyebarkan kabar perdamaian ke seluruh manusia. Pada 6 tahun pertama, materi keimanan, ibadah, Al-Qur’an dan akhlak memang tidak bisa dinafikan. Namun, para pengampu PAI diharapkan mampu memodifikasi metode penyampaian agar materi yang ada tidak membuat siswa bosan karena melulu berputar-putar pada pembahasan sekitar itu.

Kedua, para guru mata pelajaran PAI juga diharapkan dapat jeli memilah dan memilih materi yang dirasa menunjang munculnya sikap toleran. Wawasan inklusivistik mutlak diperlukan dengan melakukan penataran dan dialog agama-agama kepada guru-guru agama. Apalagi bagi siswa SLP, materi tentang mu’amalah, syariah dan tarikh (sejarah) hendaknya disampaikan secara kontekstual, tidak anakronistik dan semaksimal mungkin mengangkat fakta sejarah yang terabaikan yang seringkali justru menyimpan “monumen hidup” bukti betapa inklusif dan tolerannya Islam. Bagi siswa SLP, bekal keagamaan yang menunjang kiprahnya nanti dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara mutlak diadakan dengan memaksimalisasi model dialog dan penalaran kritis dan bersifat historis.

Sekadar contoh soal penghormatan rumah ibadah. Guru agama bisa menjelaskan bahwa masjid dan  rumah ibadah agama lainnya bukan sekadar bangunan fisik semata.Adanilai-nilai sakral ‏‏yang menaungi ‏‏rumah ibadah, sehingga keberadaannya secara fisik non-fisik ‏menyimbolkan ‏‏sesuatu yang kaya makna.  ‏‏Harus ditekankan kepada anak didik, merusak atau membakar rumah ibadah agama lain tidak saja ‏‏membuat fisiknya hancur, tapi juga melukai perasaan orang yang mengagungkan ‏‏sakralitas ‏‏rumah ibadah tersebut. Inilah ‏‏yang ‏‏menyebabkan masalah ‏‏penghormatan rumah ibadah menjadi isu peka dan ‏‏sensitif menyangkut hubungan antarumat beragama.

Ketiga, seyogyanya guru Agama Islam dalam mengajar lebih menekankan bukti historis yang mendukung argumen penghormatan rumah ibadah. Petuah Nabi Muhammad Saw yang melarang perusakan rumah ibadah agama lain —meski di saat perang sekalipun—misalnya, dijalankan secara konsisten oleh sahabat beliau, Khalifah Umar ra. Risalah masuknya ‏‏Islam ‏‏di ‏‏kota Yerussalem ‏‏yang ‏‏sebelumnya didahului ‏‏kesepakatan  ‏‏perdamaian antara ‏‏Umar ra dengan penduduk setempat yang mayoritas ‏‏beragama Kristen. Salah satu poin yang disepakati adalah semua gereja umat Kristiani tidak boleh diduduki dan dirusak. Bahkan setelah itu, ‏‏Umar  ‏‏dengan  ‏‏didampingi Patriarch Sofronius langsung menuju ke Gereja Makam Suci, ‏‏tempat yang diyakini Umar sebagai mi’raj Nabi Muhammad SAW. Ketika waktu shalat ‏‏tiba,  Sofronius mempersilakan Umar shalat di ‏‏tempat ‏‏itu juga ‏‏(gereja). ‏‏Dengan ‏‏nada ‏‏halus, ‏‏Umar ‏‏menolaknya sembari berkata, “Kalau saya shalat di sini, maka pengikut-pengikut ‏‏saya akan menganggap hal itu sebagai alasan untuk mengambil tempat ini dari ‏‏tangan orang-orang Kristen.” Sekelumit ‏kisah nyata (true story) ini jelas ‏‏menyiratkan  ‏‏pesan berharga ‏‏bahwa  ‏‏penghormatan terhadap rumah ibadah ‏‏agama ‏‏lain bukan ‏‏saja menyangkut “kode etik” hubungan ‏‏antarumat ‏‏beragama, tapi juga merupakan ajaran agama.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pendidikan agama islam tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan agama  yang selama ini dipandang sebagai “pelengkap” dari kurikukum sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.

Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas guru agama. Pola perekrutan guru agama yang selama ini lebih yang menitikberatkan pada segi kemampuan kognitif perlu tinjau ulang,  dengan lebih kemampuan efektif dan psikomotor, yaitu seorang calon guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengembangkan dirinya,  sementara guru-guru agama islam yang sekarang sedang melaksanakan tugas untuk secara kontinu pengembangan profesionlisme guru melalui program pembinaan pre-service serta program in-service.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan lebih memperhatikan pendidikan agama—khususnya pengajaran agama Islam di sekolah. Pendidikan harus diletakkan pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat dan umat Islam, sehingga kodrat dan iradat Allah, bahwa manusia adalah makhluk merdeka, kreatif dan inovatif akan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya, yaitu menjungjung nilai-nilai  humanisme dan pluralisme.

Tinggalkan komentar