Sudahkah Pendidikan kita Mendidik ?

Sudahkah Pendidikan kita Mendidik  ?

Apa gunanya belajar begitu lama dan begitu tinggi, menghabiskan waktu belasan tahun, malah sampai dua puluh atau dua puluh lima tahun, menghabiskan biaya juataan,  kalau pada akhirnya menjadi sarjana pengangguran atau intelektual pengangguran. Dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mendidik generasi bangsa ini  menjadi orang yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam realita pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi konsumtif yang senang meramaikan mall, plaza dan tempat rekreasi menjadi generasi hedonistik. Barangkali itu semua terjadi karena kita , pemerintah, masyarakat, orangtua dan guru, telah salah dalam mendidik. Kalau begitu kita semua harus bertanggung jawab atas fenomena ini.

Generasi senior seperti orangtua dan kakak yang sukses perlu tahu bahwa mereka harus membekali generasi muda, anak- anak , suatu kekuatan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini. Mereka tidak perlu untuk melakukan studi banding jauh- jauh sampai ke luar negeri, cukup belajar dari makhluk yang hidup di seputar mereka. Karena lingkungan kita sudah kaya dengan sumber pembelajaran.

Induk ayam., secara instink tahu sekali bahwa ia  perlu mengajar anak- anaknya agar bisa memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup. Ia memberi model (pelajaran dan contoh langsung) bagaimana agar mereka bisa memiliki cakar dan paruh yang kuat untuk mengais rezeki yang tersembunyi. Kucing liar (bukan kucing rumahan yang hidup manja) secara instink juga mengajar  anak- anaknya lewat latihan dalam bentuk pemodelan- melompat dan menerkam- agar anak anaknya bisa menjadi cerdas untuk melompat, menerkam dan mencakar rezki dan meghadapi problema hidup dengan tangguhnya.

Lantas bagaimana eksistensi orangtua dalam mendidik dan mewarisi kehidupan yang layak bagi anak ? Terus terang bahwa tidak banyak orangtua yang tahu teori tentang mendidik. namun mereka mewarisinya dalam bentuk pemberian model, latihan dan kesempatan dalam berbuat.

Orang tua, dalam generasi masa lalu, mempunyai banyak anak, karena program Keluarga Berencana belum mereka kenal. Saat itu alam dan lingkungan masih aman, ramah dan jauh dari berbagai jenis polusi. Mereka membiarkan anak lepas di alam bebas, mengeksplorasi alam.Ibu dan ayah karena punya banyak anak  musti membanting tulang sebagai wujud tanggung jawab. Ibu pun kekurangan waktu dalam mengurus anak secara detail. Anak saat itu jauh dari karakter over protective (watak terlalu melindungi), karakter orang tua yang serba melarang dan karakter serba membantu.

Pada masa itu setiap anak dari kecil sudah mengenal hidup susah, mereka serba mencoba pengalaman hidup-  diterpa oleh hujan dan panasnya kehidupan. Bila masa akhil balikh berakhir, memasuki awal usia dewasa. Mereka merasa malu untuk menjadi “anak mama”. Atau anak yang selalu berada di bawah ketek orang tua.

Tetapi bagaimana keadaan generasi belakangan, generasi dimana setiap orang tua sudah agak tinggi tingkat pendidikannya, paling kurang tamat SMA dan sudah paham manfaat memiliki dua atau tiga anak- keluarga yang kecil. Anak- anak yang tumbuh dalam keluarga kecil pertumbuhan biologinya lebih bagus, bisa memiliki asupan gizi yang lebih baik. Namun bagaimana dengan asupan pengalaman hidup mereka ?

Orang tua zaman sekarang, sebagian, cendrung bersifat over protective , suka mencampuri kehidupan anak sampai terlalu detail, serba melarang dan banyak memanjakan anak dengan hal yang bersifat hedonis  dan serba membantu mereka. Orang tua zaman sekarang hanya lebih mementingkan  pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak , namun cendrung tidak tahu atau kurang peduli terhadap perkembangan dan pendidikan pada aspek lain- kecakapan hidup, spiritual, emosional , sikap positif  dan kecakapan  lainnya.

Sekarang bila anak mampu bernyanyi sebagai artis organ tunggal, menyanyikan lagu syahdu dan romantis, maka ia akan dikagumi dan diberi sanjungan setinggi mungkin. Bila anak jagoan dalam matematika, maka orangtua hampir tidak sabar untuk memberi tahu pada setiap orang tentang kelebihan dan keunggulan anak.  Namun bila anak tidak pandai membaca Alfatihah, lalai dalam menunaikan Shalat lima waktu adakalanya sebahagian orang tua  tampak tidak peduli dan malah memaafkan.

Orang tua sadar betul bahwa mereka perlu mempersiapkan anak agar kelak bisa hidup sukses. Agar anak sukses di sekolah maka mereka punya resep yaitu “bebaskan mereka untuk melakukan tugas rumah”. Kerja anak Cuma belajar dan belajar- apalagi ia dibebani dengan segudang PR dari sekolah. Keperluan makan dan pakaian semua diurus oleh orang tua. Namun akhirnya anak menjadi gagap dalam menyapu, mencuci, memasak, setrika bajunya sendiri dan malah bersosial. Mereka diharapkan hanya bisa jadi juara kelas dan lulus dengan nilai baik.

Dalam kenyataan orang tua yang terlalu banyak berharap agar anak jadi pintar dan sempurna yaitu dengan cara serba membantu, serba memanjakan, serba mengatur dan serba melarang. Metode atau cara ini malah membuat anak jadi miskin dengan life skill – kecakapan hidup. Mereka tidak tahu bagaimana cara membersihkan rumah, dan bagaimana memasak. Ini salah satu potret dari pendidikan yang salah dalam mendidik.

Pendidikan yang bukan atau yang belum mendidik adalah fenomena yang juga terjadi dalam dunia pendidikan (baca: di sekolah). Sekali lagi,  buat apa anak- anak belajar dari SD, SMP, SMA dan terus ke Perguruan Tinggi dan tamat kalau hanya bisa menjadi pengangguran. Apakah ini sebagai hasil dari bentuk dan  gaya pendidikan yang mereka lalui selama ini.Apalagi bahan ajar di sekolah kurang dipersiapkan dengan baik (baca: bermutu) oleh para praktisi pendidikan .Sehingga ada LKS SD berbau Porno(Radar Bromo, Kamis 3 Februari 2011).Sungguh memprihatinkan semua pihak.

Hanya pendidikan pra sekolahlah – taman kanak kanak- yang berkesan bagi anak dan menyenangkan dalam hidup mereka. Pendidikan mulai dari SD sampai ke tingkat SMA harus mereka lalui dengan berbagai macam bentuk benturan demi benturan dalam kehidupan mereka. Mereka harus tahu bagaimana persaingan sehat dan juga sering terjadi persaingan tak sehat. Bagaimana bereaksi ketika dipermalukan oleh teman. Dan anak mulai mengenal stress oleh beban tugas sekolah yang begitu padat. Jari- jari kecil mereka harus banyak menulis agar SKL (standar kelulusan) bisa tercapai agar nama sekolah tidak tercemar.

Walau semua guru sudah tahu bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar yang dituntut oleh kurikulum, maka tetap saja pembelajaran yang tradisional atau konvensional itu menarik dan sangat praktis – teacher centered, metode mencatat, metode berceramah, metode menghafal dan murid yang harus membeo atau membungkam. Agar nama guru bagus atau nama sekolah harum karena siswanya meraih nilai tertinggi, Maka siswa harus bisa mengejar skor yang tinggi. Kunci nya adalah pembelajaran berfokus pada hasil- proses tidak perlu dihiraukan – anak atau siswa harus kaya dengan bentuk dan model test, sehingga hamper setiap hari yang dilahap adalah bank soal. Anak perlu digiring ke dalam suasana kelas yang membosankan- mereka harus rela berkorban untuk tidak membantu orangtua menyelesaikan tugas di rumah, karena tuntutan sekolah lebih penting dari pada membantu orang tua dan melaksanakan tugas- tugas tadi. Namun kalau anak tidak punya kecakapan hidup, apakah itu karena kesalahan orang tua atau karena sekolah memonopoli waktu anak untuk berbakti ?.

Sejak ada kebijakan agar anak harus mampu menyelesaikan SKL atau bisa mencapai target skor kelulusan, maka semua sekolah berlomba membuat program bagaimana anak bisa gol, lulus seratus persen dengan berbagai cara. Kasihan bila ada siswa yang gagal, nama baik sekolah bisa ambruk. Untuk menjaga citra baik sekolah, guru, mungkin juga kepala sekolah, komite dan kalau perlu juga orang tua harus memberi resep- bagaimana trik- trik mencontek dan melakukan rekayasa yang jitu. Pada akhirnya sekolah dengan skor tinggi sebagai hasil dari murid berbudaya mencontek diberi penghargaan dan kalau perlu diberitakan di media massa, sementara sekolah yang menjunjung tinggi nilai kejujuran namun harus memiliki skor agak rendah,  memperoleh cibiran secara masal dan dicap sebagai sekolah yang telah gagal ?

Dibalik fenomena pendidikan yang belum mendidik ini, ada usaha segelintir orang yang berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa sangat diperlukan sekolah punya program akselerasi dan program perintisan lain. Namun ujung- ujungnya hanya masih memajukan pendidikan dalam segi kognitif. Untuk itu dikemas paket akselerasi yang apik dan lagi- lagi anak harus disandera agar mampu membahas soal- demi soal ujian standar nasional agar kelak bisa lulus di SMPTN dan kuliah di perguruan tinggi bergengsi.

Namun dalam kenyataan tidak semua anak yang tertarik pada kegiatan kognitif. Sebagai akibat terpaksa ikut kegiatan akselerasi, mereka belajar asal asalan karena dipaksa oleh kolaborasi orang tua dan sekolah. Meminjam istilah pendidikan quantum teaching, sebagian dari mereka mungkin hanya tertarik dengan kegiatan otot, kegiatan seni, kegiatan interpersonal atau intrapersonal dan mungkin kelak di sana karir mereka. Tetapi mengapa mereka dipaksa mengikuti pelajaran akselersai pada bidang kognitif yang penuh rumus dan bahasa yang kering, dan angka- angka. Program ini tidak salah namun tempatnya belum tepat menurut istilah- the right man in the right place.

Kalau pada banyak sekolah dibentuk English club, maka adalah juga tepat untuk membentuk club- club mata pelajaran- mathematics club, history club, geografpy club. Kemudian juga club berdasarkan hobi, dan minat seperti photography club, atau menghidupkan aktivitas yang berbasis life skill- berkebun, beternak atau bahkan bertani sebab Negara kita yang katanya agraris ini sering kekurangan beras. Bukankah pekerjaan seperti sudah dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Padahal profesi pada bidang ini sangat mulia, menghidupi jutaan orang di dunia dan jauh dari dosa korupsi, kolusi dan nepotisme. Opini ini hanya mengajak setiap orang  untuk melakukan kontemplasi tentang pendidikan yang belum punya nilai mendidik, yang justru telah melahirkan banyak generasi yang cemas menghadapi hidup.

(Penulis : M. Nur Hidayat, Guru SMA Maarif NU Pandaan)

Tinggalkan komentar